GARUDA CITIZEN-Tana Toa, salah satu kawasan adat yang masih terawat dan paling laris menggait turis, mulai dari turis lokal sampai turis mancanegara. Kediaman masyarakat suku Kajang Dalam ini berada dalam Kabupaten Bulukumba Sulawesi Selatan. Posisinya tepat di bawa kaki pulau Sulawesi dalam peta.
Kami baru menginjakkan kaki di kawasan wisata religi ini dalam kegiatan Riset Sosiologi Agama 2020. Program yang akan menjadi kegiatan tahunan UNHAS ini melibatkan mahasiswa dan dosen pendamping.
Dua pekan lebih kami menyiapkan segala sesuatunya. Mulai dari konsep informasi yang akan dokorek-korek sampai pada peta pemukiman masyarakat setempat. Hal demikian untuk lebih menyelami kondisi sosiokulturalnya. Selain itu kami banyak mendengarkan keterangan-keterangan awal dari peserta rombongan yang sedikit lebih mengetahui keadaan disana. Mengingat tempat yang akan dikunjungi sama sekali belum dijumpai sebelumnya.
Dengan menggunakan bus, selepas magrib kami meninggalkan kampus yang berlambang Ayam Jantan dari Timur. Menyusuri jalan Gowa, Takalar, Jeneponto, Bantaeng menuju Bulukumba. Lima jam lebih digoyang dan teraduk-aduk dalam bus berkursikan pelastik.
Diperjalanan, kami lebih banyak menghabiskan waktu menahan kepala terbentur dengan sandaran plastik dari kursi ketimbang menarik bibir untuk tersenyum. Kondisi bus yang sama sekali menguras permenungan, tepatnya agak menyiksa.
Untuk sampai ke Tanah Toa atau Kajang Dalam, mengharuskan kami transit di salah satu rumah rombongan riset di desa Bontominasa, Kecamatan Bulukumpa. Kue dan kasur menyambut kita yang kebetulan telah menunjukkan pukul dua lewat, pagi waktu setempat.
Kami memutuskan untuk istirahat, dan melanjutkan perjalanan setelah bercengkrama dengan kasur beberapa menit untuk memulihkan kondisi fisik dan psikologis. Dari kediaman yang megah untuk kategori perumahan di desa, kisaran tiga puluh menit perjalanan jika dilanjut untuk sampai ke wilayah Ammatoa.
Kurang lebih jam 10 pagi, kami meninggalkan tempat peristirahatan yang penuh dengan lumbung makanan itu menuju kawasan religius Suku Kajang. Sebelum masuk ke lokasi, kami singgah di salah satu rumah masyarakat setempat untuk memakai pakaian adat setempat yang serba hitam.
Dikediaman itu, kami memdapatkan informasi baru perihal kondisi dalam kawasan. Mereka juga menunjukkan beberapa karya peneliti sebelumnya yang telah publikasikan dalam bentuk buku. Setelah itu, kami melanjutkan perjalan.
Setiba di lokasi yang sedari tadi menggoyak-oyak rasa penasaran, kami disambut oleh pemandu wisata kawasan Adat. Mereka menyampaikan informasi keselamatan ketika masuk kawasan. Diantaranya, memakai pakaian serba hitam, melepas sandal, tidak mengambil foto, tidak menzalimi pohon dan intinya tidak kajili-jili.
Untuk masuk ke kawasan adat, hanya bisa ditempuh dengan berjalan kaki, tanpa alas diatas kerikil bebatuan. Rumah Ammatoa menjadi tujuan utama kami di dalam. Kisaran satu kilometer dari pintu masuk.
Sebelum masuk, tidak lupa kami sempatkan untuk berpose bersama di depan pintu masuk. Selain karena kebutuhan history, juga untuk menegaskan bahwa kami adalah turis, turis lokal.
Ketika berjalan masuk, penglihatan kami yang seharusnya digunakan mengamati rumah-rumah dan masyarakat setempat justru digunakan untuk melihat kebawah. Kami berjalan dengan menunduk, untuk memastikan kaki tidak tersandung atau menginjak batu runcing.
(jalanan masuk kawasan adat, semakin maju semakin berkerikil)
Rasa penasaran benar-benar bertelanjang saat kami naik di rumah dan bercengkrama dengan kata-kata bijak Ammatoa. “Berkharisma”, adalah kata paling pertama muncul saat tatapan mata saya direspon oleh Ammatoa.
Semua rumah masyarakat adat berarsitektur tradisional Bugis, rumah panggung dengan atap runcing ke atas. Kerangka rumahnya terbuat dari kayu, sedang gentengnya dari anyaman daun lontar.
Kami harus memastikan kaki kami benar-benar bersih sebelum naik ke rumah Ammatoa. Mengingat perjalanan kami hanya menggunakan kaki tak beralas sehingga kaki demikian kotor. Setiap rumah-rumah masyarakat memiliki penampung air semacam kendi, yang disimpan di depan tangga.
Air ini yang digunakan membilas 26 kaki kami sebagai tamu Ammatoa. Disamping penampung air, terlihat berbaris jergen lima dan sepuluh liter yang digunakan untuk mengambil air di sumur. Kawasan wisata religi ini hanya memiliki satu sumur, dan menjadi satu-satunya sumber air masyarakat setempat selain air hujan. Sumur ini tepat berada di pinggir sungai. Disitulah masyarakat biasanya berkumpul untuk mandi dan mencuci pakaian di pagi hari.
Sebagai keturunan Bugis Bone, saya pribadi terhentak melihat posisi dapur rumah Ammatoa yang disimpan di depan. Ini sangat kontraks dengan posisi dapur rumah panggung pada masyarakat Bugis di daerah saya dan rumah rumah modern yang umumnya disimpan di belakang rumah, cenderung disembunyikan
Rumah Ammatoa dan semua rumah masyarakat adat justru sengaja disimpan paling depan. Hal demikian, karena mereka memaknainya sebagai bentuk keterbukaan dan kejujuran. Agar tidak ada kecurigaan makanan yang akan disuguhkan.
Selain itu Ammatoa menambahkan bahwa dengan dapur di luar (ruang tamu) tamu-tamu bisa melihat kemampuan perempuan memasak. Khususnya anak gadis. Salah satu syarat perempuan kawasan bisa dinikahkan ketika ia sudah bisa memasak. Perempuan kawasan adat memegang posisi sentral di dapur.
Secara umum, falsafah hidup mereka adalah kejujuran yang bersumber dari kepercayaan. Mereka sangat anti dikibuli atau dibohongi. Prilaku kebohongan bagi mereka menjadi salah satu sumber malapetaka bagi kampung.
Untuk itu, mereka melakukan ritual magis jika ditemukan seseorang berbohong, misalnya mencuri dan tidak ada yang mengakuinya. Mereka tidak serta merta percaya terhadap ucapan, karena potensi ketidakjujurannya sangat besar.
Salah satu ritual untuk memriksa kebohongan terhadap orang-orang yang dicurigai adalah dengan mengadakan upacara tunu panroli (bakar linggis).
Linggis dibakar sampai merah membara, dan orang-orang yang dicurigai diminta kesediaannya untuk memegangnya. Ketika seseorang jujur, mereka tidak akan merasakan panasnya besi. Sebaliknya mereka yang berbohong akan menghanguskan tangannya.
Selain berkunjung ke rumah Ammatoa, kami juga keliling kampung dan berbincang-bincang dengan sebagian masyarakatnya. Berada di kampung adat serasa mengantarkan kita pada situasi dan kondisi para orangtua terdahulu kita yang sebelumnya hanya bisa dibayangkan tanpa dirasakan.
Sayangnya, karena waktu kami yang singkat. Untuk sementara kami hanya mampu membagikan sesendok dari segudang cerita wisata religi di kampung adat Ammatoa. Selanjutnya, kami juga akan mencoba menyatukan dan mempublikasi hasil temuan kami dalam bentuk buku.
Tidak lupa, untuk menyempurnakan kunjungan kami ke Bulukumba. Perjalanan kami teruskan ke pantai Bira, sebelum akhirnya kembali menuju Kota Makassar.
BULUKUMBA, MINGGU 6 JUNI 2020
PENULIS : ARISNAWAWI (peserta riset sosiologi agama Universitas Hasanuddin)