Berita

Mahasiswa UNSULBAR Tidak Paham Demokrasi Kampus

OPINI, GARUDA CITIZEN- Demokrasi, yang dijuluki oleh Benjamin Franklin pada akhir abad 18 sebagai “Matahari Terbit”, ternyata masih dapat bersinar cerah. Bagi masyarakat di berbagai belahan dunia, demokrasi semakin menjadi pusat dan tumpuan harapan akan masa depan yang lebih cerah serta cita-cita menuju suatu kehidupan yang penuh kebebasan dan bermartabat. Gagasan tentang demokrasi baru-baru ini telah memberikan pengaruh yang kuat di Afrika, Asia, Eropa Tengah dan Timur serta Amerika Latin, dimana banyak negara di kawasan-kawasan tersebut sedang berupaya keras menjawab tantangan-tantangan sulit yang secara inheren berada dalam proses belajar untuk menumbuh kembangkan iklim kritis di masyarakat.

Berangkat dari tesis Francis Fukuyama mengenai “The End Of History” yang disinyalir kembali mengangkat demokrasi dari kuburnya dengan menilai bahwa akhir dari Perang Dingin dengan runtuhnya tembok Berlin yang menjadi pemisah antara Jerman Barat dan Jerman Timur merupakan kekalahan telak bagi ideologi Komunisme, dan sekaligus menjadi kemenangan mutlak bagi ideologi Kapitalisme Pasar dan Demokrasi Liberal.

Faktanya, Fukuyama tidak mengembalikan esensi dan ciri umum dari demokrasi melainkan justru mengebiri demokrasi yang hanya berdasar pada kebebasan individu dengan basis ekonomi yang cenderung melegitimasi penguasaan alat produksi bagi para pemodal.

Lebih jauh, jika kita memandang demokrasi yang secara filosofis, maka kita akan menemukan suatu konsep yang notabenenya menjadi cita-cita utama dari demokrasi itu sendiri, yakni lahirnya suatu gagasan kritis yang berupaya untuk menciptakan suatu tatanan yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan serta keadilan atau dengan kata lain menjadikannya sebagai pandangan hidup masyarakat dunia. Sehingga akses terhadap pengetahuan serta pemenuhan ekonomi atau alat produksi tidak lagi dimonopoli oleh mereka yang memiliki modal.

Situasi politik global yang pada hari ini, cenderung memberikan harapan baru terhadap masa depan demokrasi untuk menuju tatanan itu. Gelombang protes yang terjadi akhir-akhir ini, yang dilakukan oleh kurang lebih 30 negara di dunia dan mempunyai skala yang luas bagi tiap benua seakan membuka kembali kotak pandora yang telah lama terkubur.

Gerakan ini cenderung mengangkat isu keadilan dan kemanusiaan sebagai tuntutan utama. Beberapa pakar pun beranggapan bahwa gerakan protes yang terjadi hari ini memiliki kemiripan dengan Gerakan Revolusi Pemuda pada tahun 1968. Misalkan, Gerakan Rompi Kuning di Prancis yang telah memasuki periode waktu yang panjang. Mereka menolak kenaikan harga bahan bakar yang secara langsung memberatkan rakyat.

Ekuador pun melakukan aksi yang serupa, gerakan demonstrasi yang dilakukan oleh rakyat Ekuador terjadi ketika pemerintah mengumumkan akan mencabut subsidi bahan bakar sebagai bagian dari pemotongan anggaran publik yang juga disetujui oleh International Monetary Fund (IMF) Lain halnya di Indonesia, Gerakan Reformasi Dikorupsi yang telah memakan korban jiwa pada September lalu memilih untuk mengangkat isu tentang pengebirian lembaga anti Korupsi serta Hak Azasi Manusia. Gerakan ini, juga ditengarai sebagai gerakan terbesar mahasiswa Indonesia pasca Reformasi 1998. Gerakan Reformasi Dikorupsi merupakan suatu upaya untuk mengembalikan esensi demokrasi yang ideal.

Namun, yang menjadi masalah besarnya adalah gerakan ini cenderung lahir secara prematur karena tidak berdasar pada pembacaan situasi yang betul-betul konkret untuk melihat bagaimana kondisi nyata dari apa yang dialami oleh rakyat Indonesia. Solidaritas mahasiswa dalam gerakan ini pun perlu dipertanyakan, mengingat adanya korban jiwa atas tindakan represif yang dilakukan aparat kepolisian, lantas cenderung tidak menjadi perhatian bagi mahasiswa. Fakta-fakta inilah yang menandakan bahwa sistem politik dunia hari ini juga dikendalikan oleh sistem oligarki yang tentunya memberikan dampak terhadap keberlangsungan hidup rakyat.

Mahasiswa yang merupakan intelektual organik seharusnya mampu memahami demokrasi dalam konsep yang ideal guna membangun suatu tatanan bernegara yang mapan untuk dapat menjamin dan melindungi hak-hak seluruh rakyat suatu negara, olehnya itu lingkungan kampus sejak awal seharusnya dibangun untuk menjadi wadah yang paling tepat untuk dapat memberikan pengetahuan dan praksis demokrasi bagi mahasiswa.

Inilah yang menjadi salah satu fungsi utama dari lembaga pendidikan tinggi sebagai salah satu pusat peradaban untuk menciptakan generasi bangsa yang kritis terhadap ketimpangan sosial yang terjadi. Namun, yang ada justru sangat jauh dari idealnya, pengetahuan akan demokrasi khususnya untuk mahasiswa Universitas Sulawesi Barat (Unsulbar) masih dan bahkan belum mampu menyentuh sisi yang esensial bagi konsep demokrasi itu sendiri.

Mahasiswa Unsulbar saat ini hanya mampu menafsirkan demokrasi sebatas pada pemilihan umum, tanpa menyentuh sisi yang paling fundamental bagi jalannya demokrasi. Praksis demokrasi yang seharusnya diperjuangkan oleh mahasiswa haruslah berlandaskan pada upaya untuk mendorong kritisisme di lingkungan mereka agar mampu menghasilkan iklim dan budaya yang mendorong untuk lahirnya kaum intelektual yang mempunyai kepekaan sosial yang tinggi.

Istilah ”Kaum Miskin Kampus” yang menjadi representasi dari mahasiswa millenial merupakan suatu pikiran yang menjelaskan perbedaan Teks serta Konteks mahasiswa yang dulu dan kini. Mahasiswa dimasa pergerakan nasional periode 1960-1990an yang menolak akumulasi kapital terhadap alat produksi pengetahuan yang mendapatkan legitimasi dari negara. Mereka mempunyai gagasan yang kuat untuk melakukan kritik terhadap negara. Bahkan satu-satunya yang menjadi kemewahan bagi mahasiswa pada saat itu adalah idealisme yang berpihak pada rakyat.

Sedangkan,saat ini mahasiswa yang mempunyai platform Millenial tidak mampu memposisikan diri sebagai aktor intelektual untuk melakukan kontrol terhadap kebijakan-kebijakan negara. Gagasan-gagasan yang dibangun pun jauh berbeda dengan para pendahulunya. Inilah yang menyebabkan, sehingga Kaum Miskin Kampus yang mewakili Millenial itu di intepretasikan sebagai fenomena kurangnya gagasan kritis mahasiswa dalam menyikapi perkembangan masyarakat serta lahirnya kebijakan negara yang tidak berpihak kepada rakyat.

Sekarang, salah satu yang menjadi masalah besar adalah, pada moment Dies Natalis kampus 2018. Dengan digelarnya lomba pembacaan puisi yang diikuti oleh mahasiswa yang menjadi delegasi dari masing-masing fakultas. Terdapat puisi yang dibacakan oleh mahasiswa Unsulbar dengan konten yang menganggap bahwa gerakan mahasiswa yang berwujud pada bentuk “Parlemen Jalanan” sebagai suatu upaya yang dapat merusak citra negeri. Ini adalah asumsi yang sangat-sangat bodoh, pada dasarnya dinamika dan sejarah pergerakan di Indonesia lebih di dominasi oleh para kaum intelektual. Kaum intelektual inilah yang mampu menjatuhkan rezim yang berkuasa selama 32 tahun karena tindakan represifitasnya kepada rakyat Indonesia.

Akhir-akhir ini perhatian mahasiswa difokuskan pada Pemilihan Umum untuk pergantian Presiden Mahasiswa yang sebelumnya telah menjabat selama kurang lebih 5 tahun, dan kita menemukan fakta, bahwa selama periode kepengurusan itu kita tidak pernah menemukan upaya kritis yang dilakukan oleh lembaga Student Goverment tersebut. Kita mengharapkan agar pemilihan umum kali ini betul-betul mampu melahirkan seorang pemimpin yang mempunyai kapasitas pengetahuan yang kuat serta integritas yang baik. Namun, yang menjadi masalah terbesarnya adalah, politik identitas juga turut mewarnai pemilihan yang akan berlangsung 29 februari nanti.

Kebobrokan yang ditimbulkan dari Pemilu Eksekutif dan legistlatif pada April 2019 lalu ternyata berpengaruh besar bagi keberlangsungan sistem politik kampus tanpa terkecuali Universitas Sulawesi Barat. Fenomena aktual yang terjadi, mengarahkan mahasiswa menuju sikap politik yang cenderung kontradiksi dari hal-hal yang seharusnya menjadi sikap politiknya sebagai “Moral Of Cost”. Gerakan Mahasiswa yang kemudian dijewantahkan dalam bentuk Student Goverment atau pemerintahan mahasiswa idealnya mengangkat isu yang lebih progressif dengan basis data yang betul-betul terjadi di masyarakat khususnya isu yang merampas hak-hak dari mahasiswa itu sendiri. T

etapi, ini menjadi harapan yang cenderung sia-sia, mengingat isu yang sangat dengan mereka seperti ”Pendidikan Murah, Demokratisasi Kampus, serta lahirnya Kurikulum Yang Berbasis Kerakyatan” tidak menjadi perhatian ataukah mungkin, mereka tidak memahami isu yang substansial seperti ini ?

Masalah berikutnya adalah, partisipasi mahasiswa yang dirampas oleh BEM-Fakultas. Berdasarkan mekanisme pemilihan yang telah disepakati seperti, bagi mahasiswa yang mempunyai niat untuk berpartisipasi sebagai pasangan calon haruslah mendapat rekomendasi atau mendapatkan dukungan minimal dari dua fakultas yang ada.

Secara tidak langsung, mekanisme seperti ini telah membatasi pasangan calon yang ada bahkan juga mengebiri demokrasi itu sendiri. Sehingga harapan untuk melihat lahirnya gagasan liar dan kritis dengan metodologi yang kuat ketika melakukan pembacaan situasi tidak akan pernah tercapai.

Fakta inilah yang justru semakin menegaskan bahwa mahasiswa Unsulbar memang tidak memahami Demokrasi yang esensial. Seharusnya pada moment pemilihan kali ini, memberikan kesempatan yang seluas-luasnya bagi mahasiswa untuk dapat berpartisipasi menjadi pasangan calon. Kita kembali diingatkan pada kondisi politik negara dengan adanya sistem “Presidential Treshold”. Konsep ini memiliki aturan yang juga membatasi warga negara untuk mencalonkan sebagai presiden Indonesia.

Dikarenakan, bagi setiap rakyat Indonesia yang menginginkan itu maka, mereka harus mendapatkan rekomendasi minimal 20% dari 560 Anggota Dewan Perwakilan Rakyat RI. Lantas, karena salah satu perihal inilah yang justru membuat kondisi politik negara makin bobrok dan jauh dari cita-cita kesejahteraan rakyat.

Sekali lagi, BEM Universitas khususnya Unsulbar haruslah menjadi wadah pendidikan politik bagi mahasiswa sebagai perwujudan dari Student Goverment yang bertujuan untuk mencetak kader-kader yang siap bertarung dengan konsep serta mempunyai kepekaan sosial bagi sesama manusia.

Jika kita diperhadapkan pada pemerintahan negara yang tidak rasional dalam menyikapi aspirasi rakyat, pemerintahan mahasiswa harus mengambil sikap gerakan ekstra-parlemen sebagai upaya untuk mengkounter kebijakan negara yang menyengsarakan rakyat.
INGAT!!! PARTAI POLITIK YANG BOBROK, BERAWAL DARI ORGANISASI MAHASISWA

Penulis : Alfarhat Pratama
Jurusan Hubungan internasional Universitas Sulawesi Barat ( UNSULBAR) “Note: Tulisan tanggung jawab penuh penulis”

Related posts

Resmi, Ilham Nahkoda Baru OPM Kampus UNM

Erwynk Garuda Sulawesi

DWP Kantor Kementerian Agama Kabupaten Sinjai Kunjungi Anggotanya Yang Sakit

Erwynk Garuda Sulawesi

Dinas Sosial Kab. Sinjai, Melakukan Bimbingan Sosial Usaha Ekonomi Produktif (UEP) Kepada Penyandang Disabilitas

Fadel Muhammad

Leave a Comment

seven + fourteen =